Selamat Datang Di Media Online RELOAD (Membedah yang belum terjamah dan mengukir yang mungkin belum terpikir)
Senin

Bagikan

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah.
Kalimat ini sudah tidak asing lagi pada pendengar dan pengucapan kita , malah tanpa sadar sudah terpatri dalam ingatan. Tetapi sesuatu yang diingat belum tentu dimengerti. Apalagi kalau tidak ingat ya ?
Menjadi besar karena menghargai sejarah ?
Apa yang kita pahami dari sini? Coba deh definisikan dengan kata – kata anda sendiri? What it mean?


Menghargai sejarah dalam konteks kebangsaan terkini, rasanya ada kekeliruan yang cukup mendasar. Karena yang terjadi adalah keberhasilan masa lampau menjadi kata – kata manis untuk memaklumi atau menutupi kegagalan masa kini. Banyak sekali contohnya.

“Dahulu Indonesia pernah menjadi imperium besar .. ya dulu itu, jaman Majapahit dan Sriwijaya.” Ada lagi yang bilang begini, “Malaysia itu dulunya belajar dari Indonesia.” Atau.. ” Dulu tim sepakbola kita pernah bermain seri dengan Rusia di putaran piala dunia.” Atau pernah saya berdiskusi dengan mahasiswa dari Makassar. Saya sengaja tanya, “Kenapa mahasiswa di sini sering demo dan berkelahi ?” Jawabannya adalah, “Jangan heran dong bang, lihat sejarah kami, baca pomeo kami. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang, makanya kami orang Makassar berani dan tidak pernah takut!”

Menghargai sesuatu adalah bentuk dari kemampuan berapresiasi. Kemampuan menilai kebaikan dan manfaatnya. Seperti seorang kolektor lukisan yang sanggup membeli sebuah lukisan dengan harga milyaran rupiah, tentunya keputusan pembelian didasari oleh daya apresiasi yang tinggi terhadap benda tersebut. Memiliki apresiasi yang tinggi adalah hasil dari pengetahuan. Berpengetahuan dimulai dari proses belajar. Jadi bangsa yang besar adalah bangsa yang manusianya mau belajar, mau mengenal sejarahnya, mengenal kebudayaannya, pahlawan – pahlawannya, mengenali potensi materil dan imateril bangsanya, mengenal karakter bangsanya, sehingga kenal jati dirinya, mengenal dirinya!

Mengenal diri tujuan utamanya adalah menjadi diri sendiri. Menjadi diri sendiri adalah salah satu wawasan kebangsaan yang urgen dimiliki oleh manusia Indonesia saat ini. Bangsa ini punya semua syarat untuk memang menjadi bangsa yang besar. Kenapa tidak terjadi? Mungkin jawabannya adalah sudahkan kita menjadi diri sendiri ? Otentik Indonesia.

Otentik Indonesia bukan sekedar kemasan, apalagi sekedar slogan. Bukan sekedar makan nasi atau berbaju batik. Menjadi otentik adalah proses pembangunan identitas diri yang menyeluruh. Belajar dari sejarah juga bukan sekedar hafal hari–hari besar nasional, hafal momen–momen perjuangan atau nama–nama pahlawan. Tetapi belajar memahami watak bangsa dan manusianya termasuk penting. Memahami keberhasilan dan kegagalan nenek moyang dan para pendahulu adalah mutlak diperlukan untuk mengambil nilai–nilai yang positif serta belajar dari kesalahannya sekaligus. Menurut saya, sampai saat ini terlalu banyak pelestarian yang keliru karena dangkalnya pembelajaran sejarah yang dimaksud.

Banyak orang pintar di negeri ini. Apalagi yang pintar ngomong. Kalau soal kritik, hebat – hebat deh. Sampai ternganga autis saya kalau nonton diskusi di TV. Tapi tidak juga aneh jika si tukang kritik menjadi bulan – bulanan kritik ketika mereka sudah menjadi elite negara. Kenapa begitu ya?

Demokrasi hari ini menciptakan sistem politik yang tidak otentik. Banyak elite politik berasal dari elite partai yang mungkin dulunya mempunyai idealisme tetapi terperangkap dengan tujuan – tujuan kolektif yang penuh dengan kepentingan. Tentu saja kepentingan yang dimaksud adalah lebih mengutamakan kepentingan kelompok bahkan pribadi. Alhasil kumpulan manusia seperti ini akan menjalankan sebuah sistem carut marut, dangkal dan sangat tidak otentik terhadap visi misi pembangunan bangsa.

Sistem yang tidak otentik ini melahirkan bingkai yang tidak mewakili keadaan sebenarnya. Bingkai ini benar–benar membatasi cara berpikir tentang kepentingan yang lebih luas. Bingkai ini mempengaruhi cara berpikir dan gaya pengelolaan (manajerial ). Ambisi berkuasa menyebabkan para elite kita merasa perlu untuk memproyeksikan citra tertentu dengan janji - janji berupa slogan. Ini adalah gambaran palsu yang di tempatkan di atas siapa mereka dan apa yang mereka wakilkan sebenarnya. Alih – alih membuat rakyat terpesona, justru membuat rakyat terluka

Situasi seperti gambaran di atas jelas–jelas merupakan bentuk kegagalan. Untuk apa dilestarikan? Belajarlah dari sejarah terdekat mengenai hiruk pikuk kampanye dimanapun berada. Jadilah diri sendiri, bicaralah sesuai dengan hati nurani. Sampaikan pada masyarakat bahwa anda adalah bagian dari perubahan yang diinginkan mereka. Negara ini harus berlangsung keberadaannya. Bangsa ini memerlukan penanganan di tangan orang –orang yang lebih baik dari yang ada hari ini. Kunci dari komunikasi yang diperlukan adalah berani berbeda di atas kaki sendiri, lantang menyuarakan suara hati dan berjanji dalam hati untuk memenuhi janji –janji yang ditabur bila Tuhan berkenan menjadikan anda menjadi wakil rakyat atau pemimpin mereka. Itulah otentik Indonesia, menjadi diri sendiri.

Sumber: http://www.cbs-creative.com/2011/10/kampanye-politik-menjadi-diri-sendiri.html#more

Kode Iklan

Responses to "Kampanye Politik; Menjadi Diri Sendiri"

Write a comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Text Backlink Exchanges backlink Free BackLinksMIM - Free BacklinksYour-Link http://Link-exchange.comxa.com AutoBacklinkGratisFree Promotion LinkMAJLIS LINK: Do Follow BacklinkLink Portal Teks TVFree Smart Automatic Backlink MIM - Free BacklinksYour-Link