Selamat Datang Di Media Online RELOAD (Membedah yang belum terjamah dan mengukir yang mungkin belum terpikir)
Rabu

Bagikan

Oleh Luki Aulia dan Yuni Ikawati

Indonesia sebenarnya bisa jauh lebih maju dibandingkan dengan negara tetangga. Saat negara lain masih dilanda konflik, 42 tahun lalu, Indonesia sudah bisa menyelenggarakan Lomba Karya Ilmiah Remaja. Tepatnya tahun 1969. Namun, lomba yang diselenggarakan itu hanya sebatas lomba.

Tidak pernah ada pencatatan dan pemantauan terhadap para juara Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang sebenarnya pemuda-pemuda berprestasi. Begitu pula para juara olimpiade internasional.

Memang sejak tahun 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan untuk memfasilitasi para juara olimpiade internasional agar dapat melanjutkan kuliah hingga jenjang doktor. Namun, kenyataannya, untuk mendapatkan beasiswa tersebut membutuhkan waktu lama dan berbelit-belit.

Di Singapura, sejumlah mahasiswa Indonesia yang meraih juara olimpiade internasional memang benar mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Indonesia. Namun, pencairan dana beasiswa tersebut sering terlambat, baru cair sekitar Oktober. Padahal, pembayaran uang kuliah paling lambat September.

Untuk menutupi biaya kuliah, mahasiswa terpaksa meminjam ke bank (tuition loan) di kompleks kampus. Meski tanpa agunan, pinjaman tersebut harus dikembalikan setelah mahasiswa lulus dan bekerja dengan masa pengembalian bisa sampai 20 tahun.

Kondisi ini memaksa mahasiswa yang sudah lulus bekerja di luar negeri agar bisa membayar cicilan pinjaman ke bank.

Sebagian mahasiswa lain terpaksa menerima subsidi biaya kuliah (tuition grant) sekitar 15.000 dollar Singapura (sekitar Rp 112,5 juta) per tahun atau bantuan biaya hidup yang jumlahnya lebih kecil dari itu.

”Sesuai kontrak, setelah lulus kami harus bekerja di Singapura selama tiga tahun,” kata Stephen Haniel Yuwono, peraih medali perunggu Olimpiade Internasional Kimia tahun 2010 yang kini berkuliah di Jurusan Kimia National University of Singapore (NUS).

”Jadi, jangan anggap kami tidak nasionalis kalau kelak bekerja di luar negeri karena ini bagian dari kontrak,” ujarnya.

Meredup

Meski budaya penelitian sudah dimulai 1969, budaya itu kini terasa kian redup. Beragam faktor menjadi penyebab, mulai dari tidak adanya grand design pembangunan nasional di Indonesia yang menempatkan penelitian dalam arus utamanya, tidak adanya pembinaan, minimnya anggaran, hingga beragam faktor lain.

Mien Rifai, mantan Deputi Ilmu Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), melihat ada yang tidak tepat dalam program kompetisi karya iptek belakangan ini. Karena hal ini tidak bertujuan untuk mendorong siswa menguasai ilmu, akibatnya segelintir siswa dapat medali olimpiade, tetapi rata-rata scientific literacy siswa Indonesia hanya 399, jauh di bawah rata-rata ideal dunia yang 500. Artinya, siswa Indonesia tak mampu menggunakan pengetahuan yang sudah dipelajari untuk memecahkan masalah kecil sehari-hari di kehidupannya.

Dalam Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) tingkat SMP yang diadakan Kementerian Pendidikan Nasional, awal Oktober lalu, Ketua Dewan Juri Prof Dr Wahyudin Latunreng mengungkapkan, siswa yang berprestasi di bidang karya ilmiah hanya segelintir yang bercita-cita menjadi peneliti. Sebagian besar dari mereka justru bercita-cita menjadi pegawai bank, pegawai pajak, polisi, dokter, dan psikolog.

”Tidak ada yang salah dengan profesi tersebut, tetapi profesi meneliti lebih penting karena menjadi salah satu penentu kemajuan suatu bangsa,” kata dia.

Hal yang sama dikemukakan Fahmi Amhar, juri LPIR tingkat SMP yang menjadi pemenang LPIR tiga tahun berturut-turut (1984-1986). Dari pemenang seangkatannya, hanya segelintir yang kemudian menjadi peneliti.

Fahmi, Guru Besar Geomatika di Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, juga merupakan siswa SMA yang mendapat beasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan sekolah di luar negeri.

Dari mereka yang mendapat beasiswa sarjana ke luar negeri ini, hanya sekitar 30 persen yang kembali ke institusi yang memberikan beasiswa ikatan dinas. Sebagian besar kemudian bekerja di luar negeri atau kembali ke Indonesia, tetapi bekerja di perusahaan swasta atau mendirikan perusahaan sendiri.

”Banyak peserta beasiswa yang kemudian berkiprah di luar negeri karena kondisi riset di Tanah Air tak kondusif,” ujar Fahmi. Rekannya asal Indonesia ada yang menjadi profesor di Chiba University, Jepang, dan profesor di Cornell University, Amerika Serikat. Ada pula yang menjadi astronom di Jepang dan profesor Ilmu Komputer di Universitas Utrecht, Belanda.

Suasana riset yang kurang kondusif bagi pengembangan kompetensi riset juga dirasakan oleh Rosaria Saleh, doktor dan guru besar bidang semikonduktor. Fasilitas laboratorium tak memadai dan tidak adanya program pengembangan keilmuan yang dia kuasai sejak tahun 1990-an membuat Rosaria Saleh kemudian beralih pada penelitian nanopartikel. Padahal, semikonduktor film-tipis yang dia kuasai lebih dulu memiliki prospek cerah di dunia.

Itulah salah satu potret suram penelitian di Indonesia....

Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2011/10/24/05032348/Negeri.Ini.Tak.Nyaman.bagi.Peneliti

Kode Iklan

Responses to "Negeri Ini Tak Nyaman bagi Peneliti"

Write a comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Text Backlink Exchanges backlink Free BackLinksMIM - Free BacklinksYour-Link http://Link-exchange.comxa.com AutoBacklinkGratisFree Promotion LinkMAJLIS LINK: Do Follow BacklinkLink Portal Teks TVFree Smart Automatic Backlink MIM - Free BacklinksYour-Link